[Fiction] Kulminasi

Just decided to upload my old fic here. Its in Indonesia, sorry. ^^;

**************

She knows she’s just being so plain stupid,

—yet she can’t help it.

Sudah berapa lama? Seminggu? Sebulan. Tepatnya 15 hari lebih tujuh jam dan 26 menit sejak terakhir kali suara sang pemuda terdengar berbisik merdu di telinganya, dari daratan timur tempat matahari terbit ke kota dimana kabut selalu turun seolah dipanggil tiap paginya—menyelimuti The Big Apple. Perantara mereka hanya teknologi pindai suara tanpa kabel, surat elektronik, pesan singkat di telpon genggam. Dan walaupun semua itu tidak cukup membuat sang gadis untuk tak membenci, merutuki jarak puluhan ribu mil dan lebih dari delapan jam perjalanan via udara. Ia tetap, tetap, tetap, melakukannya, menggadaikan hatinya di ujung telpon.


She knows she had said goodbye.

She remembers what she said; ‘Find a good girl, My Dear.’

But she did forgot one thing.

…to let go of him.

Ia keras kepala. Maka ia masih menghubungi sang lelaki hanya untuk mendengar getar suaranya, membayangkan senyum yang terpatri di wajah pemuda itu ketika mereka berbicara, membiarkan gelak tawanya merembes—mengusir kerinduan. Hingga rasa nyaman kembali meliputi hatinya yang hampir selalu diselimuti lapisan asap dan kabut, hingga suara muram sang gadis kembali riang, merdu laiknya burung kicau bernyanyi, berserta gelak tawa yang mengucur jernih laiknya mata air di oase. Ah, ia hapal candaan macam apa yang akan dilontarkan kekasihnya, cintanya. Dan walau sudah berapa bulan mereka tak saling bertemu, cuping hidungnya masih bisa mencium aroma tembakau yang dihisap si pria, juga wangi keringat yang bercampur dengan harum parfum yang membawa imaji padang rumput, riang sinar matahari. juga angin yang berhembus. Lembut tapi gegabah. Wangi, irama napas, dan suara yang serupa candu baginya.

Dan ia tahu, gadis dengan lekuk tubuh molek itu tahu kalau akhirnya sang pemuda sudah menemukan gadis lain. Penggantinya yang tiada di sana.

Ah, ia mau apa. Ia sendiri menyadari bagaimana sang pemuda seperti kuda jantan muda yang liar, gagah, susah dikendalikan, dan menarik perhatian kuda-kuda betina. Dalam kasus ini, ia ini kuda betina yang tersihir oleh pesona pejantan yang berlarian di padang rumput dengan bebas, ringan, seolah terbang. Ia tak terkejut. Sungguh. Malah secara sadar ia memersiapkan hati. Namun, itu tak semudah yang ia kira…

Mulailah hari dimana menghubungi sang pemuda, walau meliputinya dengan kebahagiaan, ia menangis sesudahnya—menyadari kalau pria itu bukan miliknya lagi. Ia cemburu jika ia mengira apa-apa saja yang dilakukan sang pria. Sama seperti waktu mereka bersama, kah? Kecupan-kecupan kecil, belaian halus, bisikan mesra, percumbuan, juga panas tubuh yang merapat. Membayangkan telah cukup membuatnya terkoyak, daging dan urat tercabik. Namun, ia ini keras kepala, ia ini sekonyong-konyong mencintai, tak mampu melepas, tak bisa bercermin, tak menakar berapa sudah bulir asinnya mengalir, memenuhi rongga telinganya ketika ia berbaring.

She just can’t find a way to let go of him.

Maka, diiringi isak tangis karena rasa rindu yang hampir membuatnya gila. Ia mencoba menghubungi sang pemuda. Iris coklat gelapnya berkaca sembari ia menatap kelip layar telepon genggam. Satu nada tunggu, dua nada tunggu, tiga nada tunggu.

Terangkat.

Hatinya lega seketika.

“Halo, siapa ya?”

Pita suaranya seolah tercabut, jantungnya membeku.

Suara perempuan yang tak ia kenal, bercampur dengan kemerasak kain—kain seprai.

Hening, ya ia hanya bisa hening sementara rasa perih perlahan merayap hingga ujung jemarinya yang bergetar. Di lehernya, seolah ada pisau yang akan menggoroknya kalau-kalau ia bersuara. Tercenung, termangu, tergagu. Suara perempuan di seberang sana mulai heran, bertanya, repetisi hingga sahutan familiar (yang ia harap akan mengangkat telponnya) terdengar.

“—oi, kenapa lama sekali, cepat masuk airnya sudah hangat.”

“Hha, tunggu, kau tak sabar.”

Sahutan, cekikikan. Sambungan terputus.

Berakhir.

.

..

Gerimis, rintik gerimis mulai menghujami genting.

Gadis itu menggerung, meraung seperti hewan patah tulang, rusak organ. Telepon genggamnya ia cengkram kuat-kuat di tangannya yang ringkuh—seolah berpegangan erat pada sesuatu. Pilu. Bibir bergemeletuk, tergigit oleh geligi. Hujan menderas. Sakit, perih merajami tubuhnya. Mencabik-cabiknya dari dalam hingga yang tersisa hanya serpihan-serpihan kecil tak terhingga. Serpihan dirinya, serpihan perasaannya pada sang pemuda. Dan di satu tarikan napas yang tersengal, yang hampir terkubur dalam isak tangis, lidah kelunya meloloskan sekelumit kata yang tertahan, sehela selamat tinggal. Teredam dalam telapak tangan yang menutupi wajah yang seolah ikut meleleh dalam derai air mata.

…..She thought she could just get over himBut now she sees that’s something she just can’t do

From the way he would hold her

From the sweet things she told her

She just can’t find a way to let go off him

And now—

——she’s officially missing him.

Leave a comment